Laman

PENGUNJUNG

Selasa, 23 Juli 2019

LIKSITERA SUMSEL

Penyair Inspiratif:)
M. Irfan Hidayatullah

PUISIKU


Penanti Matahari
Oleh: Anita Tarmizi

Hai sang mata !
Di awan mana pagi ini kau di dekap mendung?
Mengapa kau selalu bertekuk lutut kala kerabatmu bernama hujan menderai tahtamu?
Aku disini, menantimu..
Di kolong sepi bernama bumi…

Hai sang mata !
Apa kau tau? Banyak percakapan kita yang tak usai..
Banyak gelisahku yang terlipat dikala kau tak bertandang…
Aku sudah terkena candumu
candu hangatmu yang tak tergantikan…

Hai sang mata !
Banyak perih yang menderaku, banyak duka menggenangiku
Tak bisakah kau mengikat janji padaku?
Tak bisakah kau selalu hadir di setiap hari bersama pagi menyalamu?
Tak bisakah?

Hai sang mata !
Haruskah aku menjadi pucuk dedaunan di pepohonan tertinggi?
Haruskah aku membuat sayap dan belajar terbang?
Haruskah aku membuat tangga menjulang hingga menyentuh langit?
Haruskah aku?

Hai sang mata !
Aku hanya makhluk kerdil di kolong bumi, bukan pucuk daun, bukan kawanan burung  juga takkan mampu membuat tangga untuk menaiki langit..
Aku hanya bisa menunggumu di sebuah pijakan yang hampir rapuh ini
Dengan kaki yang mulai bergetar,
Dengan hati yang mulai gulana,
Dengan mata yang mulai berkaca..

Aku hanya ingin kau datang,
menyapaku lamat-lamat,
Mendekapku dengan hangat,
Menyinariku walau samar,
Memberi tanda walau kau tertutup awan hitam,

Ketahuilah itu…



Baturaja, 15 April 2015
08.22 am.


Sabtu, 20 Juli 2019

RESENSI BUKU (SUMSEL MENULIS)



(Review) Novel : PULANG
Judul Novel     : Pulang
Penulis             : Darwis Tereliye
Penerbit           : Republika, Jakarta
Tahun Terbit    : 2015
Tebal Buku      : 400 halaman


SINOPSIS BUKU
Namanya Bujang, bocah berusia lima belas tahun yang sama dengan bocah-bocah seusianya. Lahir dan besar di kampung pedalaman Sumatra, Bapaknya bernama Samad, seorang mantan jagal tersohor yang meninggalkan masa lalu hitamnya. Mamaknya bernama Midah, seorang keturunan pemuka agama. Bujang sama dengan bocah-bocah di kampungnya, senang bermain di hutan, berjahil dan selalu ingin tahu pembicaraan orang dewasai. Di didik membaca, berhitung, mengaji, azan dan sholat juga lain sebagainya. Namun satu hal yang membuat Bujang amat berbeda dengan bocah-bocah seusianya. Bujang tidak punya rasa takut.
Semuanya bermula saat Tauke Muda menginjakkan kakinya di tanah kelahiran Bujang. Tauke Muda datang dengan satu rombongannya, datang dari kota untuk melakukan perburuan besar-besaran. Mereka akan memburu babi hujan yang akhir-akhir ini berhasil meresahkan warga.
Esoknya Tauke Muda meminta izin membawa Bujang ke kota, sekali lagi dengan berat hati sang mamak harus merelakan kepergian Bujang ke kota, ikut dengan rombongan Tauke Muda. Mamaknya sekali lagi berpesan, Bujang harus menjaga perutnya dari daging babi dan tuak juga segala macam makanan-minuman haram. 
Sampai di kota Bujang dilayani dengan sangat terhormat. Kemudian Remaja berusia enam belas tahun, memiliki tubuh tinggi besar, kulit  gelap, perawakan khas Arab dan tinggal di rumah Tauke Besar sejak kecil. Di kota, Tauke Besar berusaha membuat Bujang dapat menyusul ketertinggalan di sekolah sebab di kampungnya dia tidak pernah mencicipi bangku sekolah
Dua puluh tahun kemudian, Bujang telah tumbuh menjadi pemuda yang gagah, menjadi jagal dunia hitam, seorang jagal nomor satu. Jenius, kuat, dan tidak mengenal rasa takut. Bujang berhasil menyusul ketertinggalannya dan menyelesaikan sekolah terakhirnya di luar negeri sebagai salah satu lulusan terbaik. Bujang tumbuh menjadi pemuda yang hebat, cerdik dan penuh ide-ide cemerlang.  Menjadi bagian dari Keluarga Tong, salah satu keluarga penguasa shadow economy.

REVIEW BUKU

Manusia diberikan kebebasan untuk menentukan jalannya hidupnya. Setiap jalan yang ditempuh tersebut niscaya mengandung risiko nilai, baik positif maupun negatif, tergantung dengan jalan atau pilihan yang ditempuhnya. 
Tere Liye telah berhasil menyuguhkan cerita yang cukup menawan dan mengesankan. Pulang, menyuguhkan cerita kehidupan yang kaya akan nilai-nilai kebaikan di dalamnya yang disajikan dengan sederhana, mudah dicerna oleh siapa saja yang membacanya, namun sarat makna. 

Pembaca akan dibawa hanyut ke dalam cerita sejak bagian pembuka. Tokoh Mamak yang bijak, Bujang yang polos, dan Samad yang keras, kepiawaian Tere Liye menyisipkan nasihat bijak melalui tokoh Mamak ketika menasihati Bujang, anaknya. Nasihat disampaikan begitu lembut, alamiah, dan tidak dibuat-buat, meresap ke dalam hati setiap pembaca, sehingga pembaca tidak merasa digurui.

Tere Liye berhasil menyuguhkan nilai kebaikan tersebut dengan begitu lembut, tetap dalam bingkai cerita, bukan ceramah. Maka, pantas saja, jika karya-karyanya tidak sepi pembaca hingga lintas generasi. Salah satu pesan yang cukup mengharukan ialah tatkala Bujang hendak pergi ke kota atas keinginannya. Pada bagian ini, pembaca akan hanyut dan merasakan perihnya sebuah perpisahan dengan orang tercinta.


KELEBIHAN BUKU

Pertama. Tema yang unik
Tema yang dihadirkan mengandung unsur kebaruan. Masalah ekonomi dihubungkan dengan dunia tukang pukul. Lebih jauh lagi dikaitkan dengan unsur relijius serta perjuangan dan nilai kepahlawanan. Pertautan yang tampak “mustahil” itu diracik sedemikian rupa oleh penulis menjadi racikan yang apik, sudut pandang yang ciamik. Unsur lokalitas, dalam hal ini pedalaman Sumatra. 

Kedua. Sederhana
Menurut hemat peresensi, inilah kekuatan utama Tere Liye: sederhana dan apa adanya. Ia tak suka merumit-rumitkan sesuatu. Pilihan katanya secara umum mudah dicerna (walau ada beberapa yang perlu membuka kamus atau googling untuk tahu artinya). Namun secara keseluruhan sangat bisa dimengerti. 


Ketiga. Plot dan kejutan yang mengasyikan

Plot yang dihadirkan membuat pembaca penasaran untuk terus membaca kelajutan cerita. Rasa penasaran tersebut menstimulus pembaca untuk terus membaca hingga tuntas, tanpa bosan.  Selain itu alur maju mundur menambah rasa ingin tahu pembaca, baik masa lalu sang tokoh maupun cerita apa yang akan terjadi berikutnya.Kejutan-kejutan mengasyikan juga mewarnai novel ini. Sesuatu yang tak terbenak kemudian hadir menghentak. 

Keempat. Filmis

Kekuatan berikutnya dalam novel ini adalah agedan-adegan yang filmis. Kita seakan-akan diajak menonton pertunjukan, pertarungan hebat, di depan layar tiga dimensi (3D). Bahkan lebih dari itu, pembaca seolah diajak berfantasi dengan hebat. Membaca novel ini kita dibawa dalam ketegangan pertempuran sekaligus (pada beberapa kesempatan) perihal kesenduan kisah hidup.

Kelima. Pesan moral yang kuat

Inilah nilai paling kuat dalam novel Pulang (juga novel Tere Liye sebelumnya). Sebuah karya yang baik memang sudah selazimnya menyisipkan pesan moral, baik tersurat maupun tersirat. Penulis yang kini tinggal di Bandung ini amat piawai membungkus nasihat dan pemahaman hidup dengan kemasan yang cantik, adanya amanat untuk tetap optimis melanjutkan hidup dan bangkit dari keterpurukan.

KEKURANGAN BUKU 
         
Pertama. Beberapa adegan tampak seperti cuplikan film

Sah-sah saja sebenarnya bagi seorang penulis untuk menarasikan (dengan penyesuaian) beberapa cuplikan film. Hal seperti itu namanya influence (keterpengaruhan). Hal tersebut wajar. Karena di dunia ini, sejatinya, tidak ada yang benar-benar orisinal. Tentu ada unsur keterpengaruhan dari apa yang telah ada sebelumnya. Hanya saja memang, bagi sebagian orang, termasuk peresensi, beberapa adegan dalam novel ini mengingatkan pada beberapa cuplikan film action. Ingatan yang sedikit merusak kedalaman fantasi imajinasi.


Kedua. Kurang membahas penguasa shadow economy di negeri sendiri

Mengangakat isu penguasa shadow economy di negeri ini lebih banyak bersinggungan dengan penguasa shadow economy di negara lain, utamanya Hongkong dan Makau. Lalu bagaimana persinggungan dengan penguasa shadow economy lainnya di dalam negeri? Memang ada namun kurang tergarap maksimal. Mungkin ini sengaja untuk membatasi cerita agar tak melebar ke mana-mana. Meski begitu jika saja pembahasan tentang penguasa shadow economy dalam negeri lebih disinggung tentu hal tersebut lebih mantap.


KESIMPULAN

Novel ini menegaskan kemampuan sang penulis menulis genre ekonomi berbalut aksi (action). Bahkan novel ini memiliki nilai plus dibandingkan novel bergenre mirip milik penulis. Nilai plusnya ada pada pengangkatan kearifan lokal (Sumatra) dan relijiusitas. Novel ini direkomedasikan bagi siapa pun yang ingin memahami makna pulang yang sesungguhnya.  Tak sekadar pulang dalam artian kembali ke rumah dan kampung halaman. Namun mengandung  makna pulang yang dalam. Pulang menuju hakikat kehidupan. Pulang ke arah kesejatian. Pulang, kembali pada-Nya. Sang Pencipta.
Selamat membaca!


 PENUTUP

Sebagai penutup, izinkan peresensi menghadirkan beberapa kutipan berharga dari novel ini. Semoga bermanfaat.

 “Hidup ini adalah perjalanan panjang dan tidak selalu mulus. Pada hari ke berapa dan pada jam ke berapa, kita tidak pernah tahu, rasa sakit apa yang harus kita lalui. Kita tidak tahu kapan hidup akan membanting kita dalam sekali, membuat tertunduk, untuk kemudian memaksa kita mengambil keputusan. Satu dua keputusan membuat bangga, sedangkan sisanya lebih banyak menghasilkan penyesalan.“ (Halaman 262)

“Peluklah semuanya, Agam. Peluk erat-erat. Dekap seluruh kebencian itu. Hanya itu cara agar hatimu damai, Nak. Semua pertanyaan, semua keraguan, semua kecemasan, semua kenangan masa lalu, peluklah mereka erat-erat. Tidak perlu disesali, tidak perlu membenci, buat apa? Bukankah kita selalu bisa melihat hari yang indah meski di hari terburuk sekalipun?” (Halaman 339)

“Ketahuilah, Nak, hidup tidak pernah tentang mengalahkan siapa pun. Hidup ini hanya tentang kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, maka saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran.” (Halaman 340)

Anita Tarmizi
Baturaja, 18 Juli 2019
#flpsumsel
#flpsumselmenulis
#tugasresensibuku