Laman

PENGUNJUNG

Sabtu, 21 September 2019

MINDER? KE LAUT AJA !


MINDER? KE LAUT AJA !

Cerita ini adalah sebuah kenangan lama yang sudah bertahun tahun lalu saya alami. Dimulai saat saya masuk SMA tahun 2001, saya lulusan SMP Negeri yang berlokasi di desa yang bagi orang kota kala itu anak desa disebut “jeme dusun” dengan stigma sedikit buruk yaitu : primitif, ketinggalan zaman, norak, bodoh dan tidak menarik. Kesal? Pasti! Sakit hati? Tentu! Tetapi fase inilah yang membuat saya selalu tersenyum, kenangan itu menjadi cerita paling menginspirasi hidup saya hingga saat ini. Masih teringat dengan jelas saat perkenalan dengan guru kimia waktu kelas 1 SMA, di bagian saya menyebutkan asal sekolah saya, saya langsung di teriaki oleh teman sekelas saya dengan begitu gembiranya : oh… “Ndai SMP DUSON Guys… DUSON..! Kancenye pasti yang itu tuh.. yang begantong gantong di batang (Monyet). Setiap hari, setiap detik mereka menjadikan itu bahan candaan yang sangat menyakitkan hati saya, bahkan sampai saat ini.

Bullying, akhirnya saya ketahui istilah untuk perbuatan mereka itu, dampak yang saya alami sangat terasa. tidak percaya diri alias minder hampir menguasai diri saya di tahun tahun selama saya SMA namun beruntungnya saya adalah saya memiliki tekad kuat untuk melawan rasa minder tersebut dengan cara saya. Cara terjitu yang akhirnya bisa membungkam mulut mulut mereka yang riang gembira mengejek dan menghina sesuka hati mereka. Saya berpegang pada nasihat lama almarhum ayah saya: harta kekayaan, kedudukan semua akan kalah saat kau melawannya dengan ilmu pengetahuan. Kalau kau rajin belajar, pintar maka kau akan lebih bernilai bagi sekelilingmu. Nasihat ini ampuh. saya terpacu, belajar dari malam ke malam, dari buku ke buku, dari guru ke guru. Pada suatu hari usaha saya berhasil, juara umum 1 saya rengkuh. Di umumkan di lapangan sekolah hari sabtu, saat pembagian rapot.

Para pembully tadi tak cukup puas dengan pencapaian saya, tetap saja mereka menemukan celah lain untuk menghina saya, dari menghina asal saya, mereka lanjut menghina fisik dan penampilan saya, ya saya akui saya tidak semenarik cewek cewek SMA kota lainnya, baju seragam saya cuma baju bekasan kakak saya yang di jahit ulang oleh ibu saya, sepatu saya cuma sepatu murahan yang dibeli di toko sepatu murah pinggiran, tas saya ransel bekas saat SMP yang sudah tidak layak pakai tapi… aaah sudahlah saya bukan orang yang peduli soal penampilan bahkan sampai sekarang, walaupun profesi saya saat ini menuntut untuk tampil “Stylish” saya tetaplah saya yang memakai apa yang membuat saya nyaman bukan yang membuat saya menjadi orang lain.

Singkat cerita, bullying yang saya alami pada masa sekolah adalah salah satu contoh bahwa pola fikir manusia tetaplah rata rata sama, menilai segala sesuatu dari luaran, dari dia anak siapa, sekolah atau kuliah dimana, kerja apa dan dimana, pakaiannya bermerek atau tidak, mahal atau tidak, gajinya berapa, suaminya siapa, anaknya berapa, mobilnya apa, motornya apa, rumahnya bagaimana dan lain lain sampai mereka melupakan satu esensi pasti : di hadapan tuhan kita adalah sama : seorang hamba. Hanya amal dan ibadah yang akan membedakan kita kelak.

Jadi, pesan yang ingin saya sampaikan dari tulisan ini adalah terkhusus bagi generasi muda millenials jaman now STOP MINDER! Kalian pasti punya kelebihan dan kecakapan masing masing, kepandaian dan keahlian di bidang masing masing, STOP merasa paling dari yang lain, karena kalian tidak pernah tau di masa mendatang orang yang kalian remehkan akan seperti apa, bahkan mereka bisa jadi 1000 kali lebih baik dari kalian. Tidak ada istilah anak desa anak kota, tidak ada sekolah di desa dan sekolah di kota, kita semua setara jika mau mengejar ketertinggalan dan belajar sungguh sungguh. Semua punya potensi untuk menjadi yang terbaik. PEDE aja lagi, cantik ganteng itu biasa, namun cerdas cendikia lagi shalih dan shaliha itu luar biasa!

TRUST YOUR SELF! Percayailah dirimu! Karena pendukung terbesar kesuksesanmu adalah kepercayaan dan keyakinan akan diri sendiri! STOP membandingkan diri sendiri dengan orang lain! Karena dirimu tak ada banding. Terakhir ADD YOUR SPEED ! segera keluar dari zona nyaman STOP jadi penonton yok jadi pemain! Belajar Belajar dan Belajar…


#FLPSUMSEL
#WAGFLPSumselMenulis
#LampauiBatasmu


Senin, 05 Agustus 2019

TIPS MENULIS PUISI


Puisi bagiku adalah jemari untuk menyentuh banyak hati, Inilah definisi puisi bagiku. Gemar menulis puisi adalah bakat alami yang aku miliki tanpa latar belakang pendidikan sastra ataupun sejenisnya, tetapi hanya bermodalkan “suka” puisi tidak akan maksimal membantu dalam menulis puisi. Banyak hal yang harus di pelajari agar bakat ini makin terasah dan terarah. Saya tidak akan mengulas tentang bagaimana menulis puisi yang sesuai dengan kaidah kaidah sastra, tetapi saya akan memberikan tips menulis puisi “Ala Saya” semoga bisa memberikan manfaat ya! Oke, 
Lets Check This Out!

Tips ke-1
Perbanyak membaca buku-buku puisi.
Membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, semakin banyak kita membaca semakin kaya penguasaan dan perbendaharaan kata dalam tulisan puisi kita. Banyak sekali buku buku puisi yang bisa dijadikan referensi bagi kita sebagai penulis puisi pemula. Sebaiknya pilih karya dari penyair yang tidak berlatar belakang sastra, karena biasanya tulisannya lebih lugas, lebih mengena ke hati dan mudah dipahami. Contoh : Buku puisi karya Kharisma. P. Lanang :  Untuk Matamu.

Tips ke-2
Copy The-Master
Setelah banyak membaca buku buku puisi, carilah dan temukan “muse’ dalam menulis puisi, pasti kita semua punya penyair favorit, sebagai langkah awal tidak ada salahnya kita mengikuti gaya kepenulisan si penyair ini, anggap sebagai “rule awal” dalam menulis puisi lama kelamaan kita akan menemukan gaya kepenulisan sendiri asal kita mau keluar dari zona nyamannya “muse” kita, tetapi jangan kelamaan meniru ya segera temukan jati diri!

Tips ke-3
Mulailah menulis puisi dengan objek objek tertentu.
Saya termasuk penulis puisi yang akan sangat lancar menulis puisi jika ada objeknya. Objek tulisan bisa apa saja, alam, benda, hewan, tumbuhan dan manusia. Pilih objek mana yang paling membuat kalian sangat tertarik, Misalnya kalian suka traveling pasti akan banyak mengunjungi tempat tempat wisata yang indah dan menginspirasi, tuliskan perlahan apa yang kalian rasakan saat berada di objek tersebut, percayalah puisi terbaik akan lahir setelahnya!

Tips ke-4
Asah dan olah rasa yang ada dalam diri.
Menulis puisi juga butuh mood (olah rasa) yang baik. Jangan memaksakan menulis saat perasaan sedang tidak stabil seperti sedang marah dan tidak fokus karena akan berdampak pada puisi yang dituliskan. Banyak yang bilang puisi adalah bahasa hati, maka mau bagaimanapun suasana hati tidak ada larangan untuk menuliskannya menjadi puisi, tetapi bagi saya puisi yang baik adalah puisi yang ditulis disaat suasana hati sedang bersinergi dengan baik.

Tips ke-5
Pelajari Penggunaan kata baku dan penulisannya yang tepat
Kadang kita sering mengabaikan pemakaian kata atau kalimat dalam tulisan kita, sudah merasa benar sendiri soal ini, padahal dalam berbahasa Indonesia ada aturan dan patokan untuk menulis dan memiih kata yang tepat. Hal ini penting demi perbaikan tulisan kita kedepannya.

Tips ke-6
Tulislah puisi dengan makna makna yang tersirat
Puisi dengan makna tersirat lebih menarik daripada puisi yang maknanya sangat jelas disampaikan. Hal ini akan membuat pembaca akan berulang ulang kali membaca puisi kita. Hasilnya, puisi kita akan lebih melekat di hati dan di fikiran mereka. Mengundang rasa penasaran pembaca adalah nilai jual sebuah puisi.

Terimakasih.
Perkenalkan, saya Anita Adesti dengan nama pena Anita Tarmizi, pekerjaan saya dosen tetap di Universitas Baturaja Prodi Teknologi Pendidikan serta menjabat sebagai Humas di FLP OKU. Penulis puisi di akun IG@intuisipuisii. Tinggal di Desa Tanjung Kemala OKU SUM-SEL. Berkenalan lebih jauh dengan saya di akun IG saya @anitatarmizi, FB Anita Tarmizi dan Blogspot di aadesti.blogspot.com. NRA 009/D/004/006. Salam Literasi 😊

#sumselmenulis
#FLPOKU

Selasa, 23 Juli 2019

LIKSITERA SUMSEL

Penyair Inspiratif:)
M. Irfan Hidayatullah

PUISIKU


Penanti Matahari
Oleh: Anita Tarmizi

Hai sang mata !
Di awan mana pagi ini kau di dekap mendung?
Mengapa kau selalu bertekuk lutut kala kerabatmu bernama hujan menderai tahtamu?
Aku disini, menantimu..
Di kolong sepi bernama bumi…

Hai sang mata !
Apa kau tau? Banyak percakapan kita yang tak usai..
Banyak gelisahku yang terlipat dikala kau tak bertandang…
Aku sudah terkena candumu
candu hangatmu yang tak tergantikan…

Hai sang mata !
Banyak perih yang menderaku, banyak duka menggenangiku
Tak bisakah kau mengikat janji padaku?
Tak bisakah kau selalu hadir di setiap hari bersama pagi menyalamu?
Tak bisakah?

Hai sang mata !
Haruskah aku menjadi pucuk dedaunan di pepohonan tertinggi?
Haruskah aku membuat sayap dan belajar terbang?
Haruskah aku membuat tangga menjulang hingga menyentuh langit?
Haruskah aku?

Hai sang mata !
Aku hanya makhluk kerdil di kolong bumi, bukan pucuk daun, bukan kawanan burung  juga takkan mampu membuat tangga untuk menaiki langit..
Aku hanya bisa menunggumu di sebuah pijakan yang hampir rapuh ini
Dengan kaki yang mulai bergetar,
Dengan hati yang mulai gulana,
Dengan mata yang mulai berkaca..

Aku hanya ingin kau datang,
menyapaku lamat-lamat,
Mendekapku dengan hangat,
Menyinariku walau samar,
Memberi tanda walau kau tertutup awan hitam,

Ketahuilah itu…



Baturaja, 15 April 2015
08.22 am.


Sabtu, 20 Juli 2019

RESENSI BUKU (SUMSEL MENULIS)



(Review) Novel : PULANG
Judul Novel     : Pulang
Penulis             : Darwis Tereliye
Penerbit           : Republika, Jakarta
Tahun Terbit    : 2015
Tebal Buku      : 400 halaman


SINOPSIS BUKU
Namanya Bujang, bocah berusia lima belas tahun yang sama dengan bocah-bocah seusianya. Lahir dan besar di kampung pedalaman Sumatra, Bapaknya bernama Samad, seorang mantan jagal tersohor yang meninggalkan masa lalu hitamnya. Mamaknya bernama Midah, seorang keturunan pemuka agama. Bujang sama dengan bocah-bocah di kampungnya, senang bermain di hutan, berjahil dan selalu ingin tahu pembicaraan orang dewasai. Di didik membaca, berhitung, mengaji, azan dan sholat juga lain sebagainya. Namun satu hal yang membuat Bujang amat berbeda dengan bocah-bocah seusianya. Bujang tidak punya rasa takut.
Semuanya bermula saat Tauke Muda menginjakkan kakinya di tanah kelahiran Bujang. Tauke Muda datang dengan satu rombongannya, datang dari kota untuk melakukan perburuan besar-besaran. Mereka akan memburu babi hujan yang akhir-akhir ini berhasil meresahkan warga.
Esoknya Tauke Muda meminta izin membawa Bujang ke kota, sekali lagi dengan berat hati sang mamak harus merelakan kepergian Bujang ke kota, ikut dengan rombongan Tauke Muda. Mamaknya sekali lagi berpesan, Bujang harus menjaga perutnya dari daging babi dan tuak juga segala macam makanan-minuman haram. 
Sampai di kota Bujang dilayani dengan sangat terhormat. Kemudian Remaja berusia enam belas tahun, memiliki tubuh tinggi besar, kulit  gelap, perawakan khas Arab dan tinggal di rumah Tauke Besar sejak kecil. Di kota, Tauke Besar berusaha membuat Bujang dapat menyusul ketertinggalan di sekolah sebab di kampungnya dia tidak pernah mencicipi bangku sekolah
Dua puluh tahun kemudian, Bujang telah tumbuh menjadi pemuda yang gagah, menjadi jagal dunia hitam, seorang jagal nomor satu. Jenius, kuat, dan tidak mengenal rasa takut. Bujang berhasil menyusul ketertinggalannya dan menyelesaikan sekolah terakhirnya di luar negeri sebagai salah satu lulusan terbaik. Bujang tumbuh menjadi pemuda yang hebat, cerdik dan penuh ide-ide cemerlang.  Menjadi bagian dari Keluarga Tong, salah satu keluarga penguasa shadow economy.

REVIEW BUKU

Manusia diberikan kebebasan untuk menentukan jalannya hidupnya. Setiap jalan yang ditempuh tersebut niscaya mengandung risiko nilai, baik positif maupun negatif, tergantung dengan jalan atau pilihan yang ditempuhnya. 
Tere Liye telah berhasil menyuguhkan cerita yang cukup menawan dan mengesankan. Pulang, menyuguhkan cerita kehidupan yang kaya akan nilai-nilai kebaikan di dalamnya yang disajikan dengan sederhana, mudah dicerna oleh siapa saja yang membacanya, namun sarat makna. 

Pembaca akan dibawa hanyut ke dalam cerita sejak bagian pembuka. Tokoh Mamak yang bijak, Bujang yang polos, dan Samad yang keras, kepiawaian Tere Liye menyisipkan nasihat bijak melalui tokoh Mamak ketika menasihati Bujang, anaknya. Nasihat disampaikan begitu lembut, alamiah, dan tidak dibuat-buat, meresap ke dalam hati setiap pembaca, sehingga pembaca tidak merasa digurui.

Tere Liye berhasil menyuguhkan nilai kebaikan tersebut dengan begitu lembut, tetap dalam bingkai cerita, bukan ceramah. Maka, pantas saja, jika karya-karyanya tidak sepi pembaca hingga lintas generasi. Salah satu pesan yang cukup mengharukan ialah tatkala Bujang hendak pergi ke kota atas keinginannya. Pada bagian ini, pembaca akan hanyut dan merasakan perihnya sebuah perpisahan dengan orang tercinta.


KELEBIHAN BUKU

Pertama. Tema yang unik
Tema yang dihadirkan mengandung unsur kebaruan. Masalah ekonomi dihubungkan dengan dunia tukang pukul. Lebih jauh lagi dikaitkan dengan unsur relijius serta perjuangan dan nilai kepahlawanan. Pertautan yang tampak “mustahil” itu diracik sedemikian rupa oleh penulis menjadi racikan yang apik, sudut pandang yang ciamik. Unsur lokalitas, dalam hal ini pedalaman Sumatra. 

Kedua. Sederhana
Menurut hemat peresensi, inilah kekuatan utama Tere Liye: sederhana dan apa adanya. Ia tak suka merumit-rumitkan sesuatu. Pilihan katanya secara umum mudah dicerna (walau ada beberapa yang perlu membuka kamus atau googling untuk tahu artinya). Namun secara keseluruhan sangat bisa dimengerti. 


Ketiga. Plot dan kejutan yang mengasyikan

Plot yang dihadirkan membuat pembaca penasaran untuk terus membaca kelajutan cerita. Rasa penasaran tersebut menstimulus pembaca untuk terus membaca hingga tuntas, tanpa bosan.  Selain itu alur maju mundur menambah rasa ingin tahu pembaca, baik masa lalu sang tokoh maupun cerita apa yang akan terjadi berikutnya.Kejutan-kejutan mengasyikan juga mewarnai novel ini. Sesuatu yang tak terbenak kemudian hadir menghentak. 

Keempat. Filmis

Kekuatan berikutnya dalam novel ini adalah agedan-adegan yang filmis. Kita seakan-akan diajak menonton pertunjukan, pertarungan hebat, di depan layar tiga dimensi (3D). Bahkan lebih dari itu, pembaca seolah diajak berfantasi dengan hebat. Membaca novel ini kita dibawa dalam ketegangan pertempuran sekaligus (pada beberapa kesempatan) perihal kesenduan kisah hidup.

Kelima. Pesan moral yang kuat

Inilah nilai paling kuat dalam novel Pulang (juga novel Tere Liye sebelumnya). Sebuah karya yang baik memang sudah selazimnya menyisipkan pesan moral, baik tersurat maupun tersirat. Penulis yang kini tinggal di Bandung ini amat piawai membungkus nasihat dan pemahaman hidup dengan kemasan yang cantik, adanya amanat untuk tetap optimis melanjutkan hidup dan bangkit dari keterpurukan.

KEKURANGAN BUKU 
         
Pertama. Beberapa adegan tampak seperti cuplikan film

Sah-sah saja sebenarnya bagi seorang penulis untuk menarasikan (dengan penyesuaian) beberapa cuplikan film. Hal seperti itu namanya influence (keterpengaruhan). Hal tersebut wajar. Karena di dunia ini, sejatinya, tidak ada yang benar-benar orisinal. Tentu ada unsur keterpengaruhan dari apa yang telah ada sebelumnya. Hanya saja memang, bagi sebagian orang, termasuk peresensi, beberapa adegan dalam novel ini mengingatkan pada beberapa cuplikan film action. Ingatan yang sedikit merusak kedalaman fantasi imajinasi.


Kedua. Kurang membahas penguasa shadow economy di negeri sendiri

Mengangakat isu penguasa shadow economy di negeri ini lebih banyak bersinggungan dengan penguasa shadow economy di negara lain, utamanya Hongkong dan Makau. Lalu bagaimana persinggungan dengan penguasa shadow economy lainnya di dalam negeri? Memang ada namun kurang tergarap maksimal. Mungkin ini sengaja untuk membatasi cerita agar tak melebar ke mana-mana. Meski begitu jika saja pembahasan tentang penguasa shadow economy dalam negeri lebih disinggung tentu hal tersebut lebih mantap.


KESIMPULAN

Novel ini menegaskan kemampuan sang penulis menulis genre ekonomi berbalut aksi (action). Bahkan novel ini memiliki nilai plus dibandingkan novel bergenre mirip milik penulis. Nilai plusnya ada pada pengangkatan kearifan lokal (Sumatra) dan relijiusitas. Novel ini direkomedasikan bagi siapa pun yang ingin memahami makna pulang yang sesungguhnya.  Tak sekadar pulang dalam artian kembali ke rumah dan kampung halaman. Namun mengandung  makna pulang yang dalam. Pulang menuju hakikat kehidupan. Pulang ke arah kesejatian. Pulang, kembali pada-Nya. Sang Pencipta.
Selamat membaca!


 PENUTUP

Sebagai penutup, izinkan peresensi menghadirkan beberapa kutipan berharga dari novel ini. Semoga bermanfaat.

 “Hidup ini adalah perjalanan panjang dan tidak selalu mulus. Pada hari ke berapa dan pada jam ke berapa, kita tidak pernah tahu, rasa sakit apa yang harus kita lalui. Kita tidak tahu kapan hidup akan membanting kita dalam sekali, membuat tertunduk, untuk kemudian memaksa kita mengambil keputusan. Satu dua keputusan membuat bangga, sedangkan sisanya lebih banyak menghasilkan penyesalan.“ (Halaman 262)

“Peluklah semuanya, Agam. Peluk erat-erat. Dekap seluruh kebencian itu. Hanya itu cara agar hatimu damai, Nak. Semua pertanyaan, semua keraguan, semua kecemasan, semua kenangan masa lalu, peluklah mereka erat-erat. Tidak perlu disesali, tidak perlu membenci, buat apa? Bukankah kita selalu bisa melihat hari yang indah meski di hari terburuk sekalipun?” (Halaman 339)

“Ketahuilah, Nak, hidup tidak pernah tentang mengalahkan siapa pun. Hidup ini hanya tentang kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, maka saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran.” (Halaman 340)

Anita Tarmizi
Baturaja, 18 Juli 2019
#flpsumsel
#flpsumselmenulis
#tugasresensibuku